Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara keseluruhan merupakan hutan tropis pegunungan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Taman Nasional tersebut merupakan habitat alami dari beberapa spesies yang terancam punah seperti Owa jawa (Hylobates moloch). Kawasan ini juga merupakan daerah tangkapan air bagi sekitar 20 juta penduduk yang tinggal di kota-kota sekelilingnya, termasuk Kota Jakarta, Ibukota Republik Indonesia. Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa nilai sumber air yang dimanfaatkan tersebut sebesar Rp. 10 Milyar per tahunnya.
Taman Nasional ini telah lama dikenal sebagai tempat untuk penelitian ekologi, rekreasi, ekowisata, dan pendidikan lingkungan. Selanjutnya, Taman Nasional ini memiliki keaneka-ragaman hayati yang tinggi, termasuk sejumlah tumbuhan dan satwa yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Beberapa satwa yang terancam punah dan merupakan satwa endemik yaitu Owa Jawa (Hylobates moloch) and Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Macan Tutul (Panthera pardus melas) and Surili (Presbytis comata). Mengingat pentingnya keberadaan taman nasional tersebut, pada tahun 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dari 15,196 hektar menjadi 21,975 hektar, dan Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40,000 hektar menjadi 113,357 hektar. Dengan perluasan tersebut, memungkinkan pengembangan koridor di antara kedua taman nasional ini.
Areal perluasan taman nasional tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani dan sebagian besar merupakan lahan yang telah terdegradasi. Di beberapa bagian areal perluasan dimaksud, terjadi perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk kegiatan pertanian. Pada umumnya areal yang dirambah tersebut berada di lereng gunung, dengan kelerengan lebih dari 30 derajat dan sangat rawan terjadinya tanah longsor dan erosi. Vegetasi yang terdapat pada areal perluasan tersebut biasanya terdiri dari semak belukar dan rumput-rumputan yang kemudian seringkali dibuka oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian jangka pendek. Dalam rangka memperbaiki kondisi hutan khususnya di areal perluasan taman nasional, perlu dikembangkan sebuah program adopsi pohon yang akan melibatkan masyarakat dalam kegiatan dan penanamannya. Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah mendorong publik untuk lebih memberikan perhatian kepada lingkungan alam melalui kegiatan adopsi pohon sekaligus mendukung tercapainya program konservasi sumberdaya hutan.
Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara keseluruhan merupakan hutan tropis pegunungan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Taman Nasional tersebut merupakan habitat alami dari beberapa spesies yang terancam punah seperti Owa jawa (Hylobates moloch). Kawasan ini juga merupakan daerah tangkapan air bagi sekitar 20 juta penduduk yang tinggal di kota-kota sekelilingnya, termasuk Kota Jakarta, Ibukota Republik Indonesia. Berdasarkan hasil kajian, diketahui bahwa nilai sumber air yang dimanfaatkan tersebut sebesar Rp. 10 Milyar per tahunnya.
Taman Nasional ini telah lama dikenal sebagai tempat untuk penelitian ekologi, rekreasi, ekowisata, dan pendidikan lingkungan. Selanjutnya, Taman Nasional ini memiliki keaneka-ragaman hayati yang tinggi, termasuk sejumlah tumbuhan dan satwa yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Beberapa satwa yang terancam punah dan merupakan satwa endemik yaitu Owa Jawa (Hylobates moloch) and Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Macan Tutul (Panthera pardus melas) and Surili (Presbytis comata). Mengingat pentingnya keberadaan taman nasional tersebut, pada tahun 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dari 15,196 hektar menjadi 21,975 hektar, dan Keputusan Menteri No. 175/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40,000 hektar menjadi 113,357 hektar. Dengan perluasan tersebut, memungkinkan pengembangan koridor di antara kedua taman nasional ini.
Areal perluasan taman nasional tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani dan sebagian besar merupakan lahan yang telah terdegradasi. Di beberapa bagian areal perluasan dimaksud, terjadi perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk kegiatan pertanian. Pada umumnya areal yang dirambah tersebut berada di lereng gunung, dengan kelerengan lebih dari 30 derajat dan sangat rawan terjadinya tanah longsor dan erosi. Vegetasi yang terdapat pada areal perluasan tersebut biasanya terdiri dari semak belukar dan rumput-rumputan yang kemudian seringkali dibuka oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian jangka pendek. Dalam rangka memperbaiki kondisi hutan khususnya di areal perluasan taman nasional, perlu dikembangkan sebuah program adopsi pohon yang akan melibatkan masyarakat dalam kegiatan dan penanamannya. Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah mendorong publik untuk lebih memberikan perhatian kepada lingkungan alam melalui kegiatan adopsi pohon sekaligus mendukung tercapainya program konservasi sumberdaya hutan.